aku mantap mendengarkan lagu ini lagi sampai habis, berkali-kali. pada akhirnya, apa yang sempat kutakutkan, aku rindukan juga. aku berani mendengarkan mewangi. membiarkan alunannya mengoyak apapun yang sudah lebur.
kepalaku pernah merangkum cerita tentang bagaimana orang-orang pada akhirnya menemukan kehidupan dalam hidup mereka yang belum urup, lalu mencari cara agar kematian membersamai dengan penuh kasih, walau rasanya tidak mungkin untuk mematikan apa yang belum waktunya.
dalam frasa yang pernah kutulis jauh sebelum ini, aku menemukan begitu banyak sedih dan bahan perenungan jelang tidur yang seharusnya tidak perlu aku sampai ke sana. diamlah, sudah. tenang dan tetaplah berenang di kolam dangkal yang tidak disukai orang-orang.
selama lima menit lebih lima puluh delapan detik lagu itu mengisi ruang dengar, mewangi tetaplah alunan paling pilu dalam seumur-umur aku membersamai banda neira. kaubisa sadar dalam sekali telak; bagaimana kekalahan pun kemenangan tetap akan membawa kita untuk jadi arang dan abu.
malam itu aku menulis dengan mata menyala, tentang ketakutan dan betapa rasa tidak guna menyelinap di aliran darah. membisikkan ajakan-ajakan kurang baik yang tidak pernah kuiyakan. aku lari, cari pertolongan. ini buatku, buat ibuku.
barangkali, ada pertemuan-pertemuan yang sengaja digarap semesta untuk membuatmu bersedih lebih panjang. pun ada pertemuan-pertemuan yang tidak sengaja tergarap semesta, agar usai itu, ia menyembuhkanmu.
kaubisa sakit lagi, sekali, dua kali, terus. tapi siklus itu nyata.
malam ini aku akhirnya berpikir. aku tidak ingin buru-buru untuk menang. kalah pun tidak apa-apa.
—cindi;
mengulang-ulang mewangi.